Ketika membuka Instagram selepas menyelesaikan satu gunung pisang goreng di dapur pagi ini, tanpa sengaja aku tertumbuk pada sebuah postingan dari akun Aurel Hermansyah. Bukan postingannya yang menarik, justru komentar-komentar yang bertebaran di sanalah yang membuatku tersenyum.
Di postingan itu, tampak Aurel yang baru saja mendarat di Padang kemudian berkunjung ke rumah salah satu tokoh masyarakat dan mendapatkan jamuan lengkap plus tur keliling rumah.Terlihat jelas makanan yang dihidangkan, apa saja yang diambil oleh Aurel, bagaimana rumah yang didatangi, dan semua orang yang ikut menyambut Aurel dengan hangat.
Aku menikmati tayangan itu, memperhatikan bagaimana Aurel diterima dengan menyenangkan. Ikut senang melihat perjalanan yang menarik itu. Saat melihat makanan yang disajikan, aku sempat membatin, betapa indahnya makanan yang ada. Bagaikan di rumah makan Padang! Lalu aku tertawa sendiri, tentu saja, apa yang di sini seakan mewah di rumah makan Padang, di sana bagaikan makanan sehari-hari.
Bagian paling menarik dari tayangan di sosial media adalah: komentar-komentarnya! Kita bahkan bisa tahu banyak informasi tentang tayangan itu dari komentar-komentar. Hal-hal yang tidak dijelaskan oleh pembuat konten dengan gamblang dituturkan oleh para pemberi komentar. Tayangan itu pun menjadi lengkap, sempurna.
Sama seperti tayangan yang kulihat pagi ini. Komentar yang tampak di atas adalah yang paling banyak mendapat reaksi dan balasan. Komentar itu bunyinya kira-kira seperti ini: Aurel biasanya mengenakan busana yang mewah, tamu-tamunya (saja) di Padang mengenakan busana mewah. Timnya harus lebih teliti.
Balasannya yang paling seru di bawahnya. Rata-rata justru menghujat si pemberi komentar, menganggap si pemberi komentar ini iri melihat apa yang dilakukan Aurel. Para pembela ini membalas dengan berbagai komentar yang tak kalah pedas. Seperti bahwa busana Aurel yang dikenakan berharga jutaan, bisa buat makan sebulan, walaupun tampaknya sederhana. Ada pula yang mengatakan bahwa Aurel baru saja melakukan perjalanan jauh dengan pesawat sehingga sudah wajar bila mengenakan busana santai yang sederhana. Pun waktu yang terbatas, sejak dari kedatangan dan langsung menuju kediaman sang pengundang. Benar, orang-orang yang tampak menyambut Aurel tentunya adalah para pemilik rumah, sang pengundang, mereka yang memuliakan tamu sehingga wajar ketika mengenakan busana yang baik dan cukup mewah.
Hal sesederhana itu, memicu komentar netizen hingga ribuan. Yang membalas (dan menghujat) pemberi komentar tentang busana Aurel nan sederhana pun mencapai 350-an komentar. Sungguh luar biasa. Yang pertama kali terlintas di pikiranku: sempat, ya, mereka berkomentar dan bersuka ria di sosial media seperti itu.
Mereka inilah yang biasa disebut sebagai Netizen Julid. Terkenal dengan keganasannya, menjadi momok bagi setiap tokoh atau influencer yang sehari-harinya membuat konten di sosial media. Salah langkah sedikit, dihujat netizen julid hingga berjilid-jilid. Bahkan di dunia glamour Korea Selatan, sering terdengar aktris yang menyerah pada hidup hanya gara-gara komentar-komentar jahat tentang dirinya di sosial media.
Bila ditelusuri, banyak sebab para netizen ini digdaya berkomentar di sosial media. Tentu saja selain yang sengaja dibayar atau buzzer—yang banyak kita temui akhir-akhir ini di reriungan pesta politik—bisa juga mereka-mereka ini iseng belaka. Namun, jangan salah. Ada—dan banyak—orang-orang yang memang sengaja berkomentar karena mereka memang merasa 'wajib' menilai dan mengomentari sosok-sosok ternama, bahkan sosok idolanya.
Salah satu sebabnya adalah perasaan iri. Kalimat-kalimat seperti 'mereka tidak pantas menerima itu semua', 'dia pikir dia lebih hebat dari aku', atau 'aku mau dia gagal dan malu' akan ada di kepala mereka yang iri dan tidak bisa menerima kenyataan dirinya. Karenanya, pencapaian terbesar yang bisa dilakukannya hanyalah memberi komentar, membasmi kebaikan yang tampak dengan menuliskan fakta buruk yang hanya diyakini olehnya, menyebarkannya dan membuat orang lain percaya.
Bisa juga karena perasaan obsesif yang terlalu besar pada idolanya. Mereka tidak ingin idolanya terlihat buruk, lalu mengucapkan hal-hal yang "seakan-akan membela", padahal semua fakta itu hanya ada dalam kepala mereka saja. Ketika hal-hal yang dimaksud sudah berkembang dan tidak bisa dikendalikan, mereka bisa melakukan apa saja—termasuk berkata kasar dan dengki walau itu di sosial media sekalipun.
Hal-hal lain seperti kurang percaya diri dan selalu merasa dirinya adalah korban, bisa membuat seseorang pun berlaku di luar nalar, termasuk berkomentar buruk di media sosial. 'Karena kamu terlalu kaya aku jadi seperti ini', atau 'kehidupanmu yang isinya foya-foya itu membuat orang-orang seperti aku menjadi semakin miskin' adalah contoh kalimat-kalimat yang bertebaran dalam kepala mereka.
Dalam dunia tanpa batas seperti ini, dasar dari dalam diri dan keluarga yang baik, panduan dari agama, menjadi hal-hal yang sangat penting. Pijakan, aturan, serta norma masyarakat yang tak kasat mata, tetapi sudah berakar, adalah menjadi sangat berguna. Tanpa itu semua, kita tidak akan lagi bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Jarak dan waktu seolah lesap dalam dunia yang disusupi kemajuan teknologi yang tak terbayangkan ini. Orang-orang yang dulu rasanya jauh, cuma bisa dilihat dari majalah atau televisi, kini bisa diraih dalam jangkauan tangan. Dikomentari tayangannya, bisa dibalas kapan saja bila mereka mau, menjadi peruntuh batas antara tokoh dan pengikutnya. Dari situlah, bisa muncul bibit posesif dan obsesif yang berlebihan.
Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah bersikap mawas dan bijak. Tidak bereaksi berlebihan. Menjaga lisan dan tangan agar tidak berkomentar atau tahan diri saat berkomentar. Tidak ikut-ikutan bereaksi dan bersikap pedas.
Tulisan—terutama di dunia digital—adalah jejak yang tak bisa kita hapuskan selamanya. Berhati-hatilah dalam berkomentar, menuliskan opini, pendapat, kisah, atau bahkan memasang foto dan kisahmu di media sosial apa pun. Adalah pilihan kita, akan menjadi sosok di dunia digital dengan baik-baik saja, atau dikenal sebagai si julid. Anda yang mana?
#windyeffendy
#opini
#julidyangbicara
No comments
Post a Comment