Semenjak pandemi, dunia tulis-menulis seakan mendapat pupuk dan tumbuh dengan pesat.
Para perempuan—ibu-ibu, remaja, bahkan anak-anak—juga beberapa lelaki yang masih sempat meluangkan waktu di antara kekalutan otak untuk menyambung hidup di masa pandemi, bersuka ria menulis dan menerbitkan puluhan buku dengan begitu mudahnya. Segala macam topik diangkat. Berbagai kelas menulis bermunculan. A blessing in disguise.
Yang kemudian terjadi adalah "kericuhan" habisnya jatah ISBN untuk Indonesia saking banyaknya buku yang terbit, sejak masa pandemi. Setelah itu, pengajuan ISBN menjadi ketat, tidak semudah sebelumnya. Namun, itu tidak menyurutkan langkah para penulis-penulis baru yang muncul dari ketiadaan, yang mengatasnamakan bakat terpendam, yang lahir dari keinginan untuk meninggalkan warisan dalam bentuk tulisan. Banyak yang kemudian menambah satu gelar baru di antara berderet gelar yang sudah dimiliki: penulis.
Sementara itu, di balik keriaan lahirnya para penulis baru—yang sejalan pula dengan lahirnya berbagai platform menulis, kelompok dan komunitas penulis, serta kelas-kelas menulis—ada sebagian dari para pujangga yang merasa khawatir: bahwa yang dilahirkan dari gelombang kepenulisan yang masif ini melahirkan sampah literasi, atau tulisan yang tidak berkualitas.
Ada yang berteriak pun, siapa mereka berani menilai bahwa tulisan-tulisan itu tidak berkualitas? Ah, ketika semakin penuh, justru kita akan semakin diam. Ketika masih kosong, kita bisa nyaring. Betul?
Semakin dalam mempelajari seluk beluk dan berbagai perihal kepenulisan, aku—sebagai salah satu yang membatin bahwa tulisan-tulisan yang berserakan itu terasa begitu lemah—semakin malu. Apa yang kupelajari dari sekian puluh tahun membanggakan nilai Bahasa Indonesia yang tinggi itu serasa seperti sampah belaka. Membaca ulang tulisan-tulisanku sendiri, membuatku ingin melemparkannya ke api unggun terbesar yang bisa kutemui, bila ada.
Banyak yang masih harus dibenahi. Sebagai pejuang kebenaran pengikut Xena the Warrior, aku merasa sedih ketika membaca tulisan-tulisan—terutama dari perempuan—yang nyaris tak ada isinya. Mungkin agak syulit untuk memisahkan bagaimana menulis yang bernas dengan menulis sat set das des berjiwa curhat. Aku pun menjadi berkelana mencari kitab suci menulis ini hingga ke ujung dunia, sambil membawa bekal setangkup roti tawar berlapis coklat meses kesukaanku.
Langkah-langkah konkrit pun harus dilakukan.Bergabung di kelas-kelas menulis—baik di Padmedia Publisher atau di mana saja— dan ikut menjadi bagian dari komunitas menulis Perempuan Penulis Padma—dan beberapa komunitas menulis lainnya, adalah salah satu langkah terbaik yang pernah kulakukan. Menimba ilmu sedalam-dalamnya, sejauh mungkin, dan mengaplikasikannya dengan banyak berlatih.
Ilmu yang dipungut di satu lubang dengan yang lain terkadang memiliki perbedaan. Justru di situlah letak sebuah pembelajaran. Merangkumnya, menuliskannya kembali, membuat catatan, menyambung koneksi antara otak dan tangan, mengasah pisau kritik, dan sebagainya.
Ada yang namanya memahami teknik menulis esai, artikel, cerpen, dan sebagainya. Ada bagian teknis yang lebih detail macam belajar ejaan, kata baku, struktur kalimat, dan sebagainya. Ada kalanya waktu untuk membedah karya penulis dengan pisau yang kita miliki. Nekat dan tentu saja harus dilakukan demi mengetahui apa saja teknik yang digunakan dan gaya penulisan mereka dan rahasia-rahasia lainnya.
Ilmu yang berjibun dan bertumpuk itu tidak akan berguna ketika tidak pernah digunakan. Macam punya senjata ajaib dan sangat mandraguna, tetapi hanya disimpan di kotak tanpa pernah dimanfaatkan. Menunggu waktu yang tepat, katanya. Kapan itu? Sebuah pertanyaan syulit: kapan.
Memberanikan diri menulis adalah penting, juga untuk mengirimkannya ke berbagai media. Atau bila nyali masih seujung kuku bayi, tak ada salahnya membuat web atau blog pribadi dan menuliskannya. Takut enggak ada yang baca? Beranikan diri membagikan link-nya ke sosial media pribadi, dan rekan-rekan di komunitas yang diikuti. Hidup memang sesederhana itu.
Berani Menerima Kritik
Di atas langit masih ada langit. Jadi, jangan pernah takut dikritik. Jangan pernah menolak review. Tantang diri untuk terus dihajar. Bedah naskah, adalah salah satu jalan pembuka menampung kritik.
Banyak hal-hal yang tidak terlihat menjadi begitu nyata setelah menerima masukan dari orang lain. Yang tadinya tidak terpikir, akan menjadi insight baru yang bisa memperbaiki kualitas tulisan.
Dari semua hal yang sudah kupelajari, ada lima hal yang bisa diterapkan dengan mudah.
1. Pastikan tulisanmu memiliki pesan di dalamnya. Lebih baik lagi bila sudah jelas siapa target pembacanya, dan sudah dilakukan riset sebelumnya. Untuk menentukan pesan apa yang harus disampaikan, biasakan menggunakan kerangka tulisan, atau minimal menuliskan premis tulisanmu sebagai acuan.
2. Gunakan kalimat efektif dan jernih, tepat sasaran, tidak berputar-putar. Pilihlah kalimat yang tidak ambigu. Gunakan metafora seperlunya. Tentu saja, pilihan target pembaca dan genre atau jenis tulisan sangat mempengaruhi cara mengatur kalimat.
3. Tuliskan dalam gayamu sendiri, jangan meniru orang lain. Tulislah sesuatu dari sudut pandangmu, walau pada dasarnya ide dan temanya sudah sering digunakan. Ide yang sederhana akan mengagumkan ketika ditulis dengan luar biasa.
4. Biasakan melakukan swasunting. Cek, cek, ricek, dan cek, dan ricek lagi. Sempurnakan tulisanmu, tentu saja dengan membekali diri ilmu-ilmu teknis macam pemahaman EYD, kalimat baku, dan pembuatan kalimat efektif. Tidak harus kaku, tetapi pastikan tulisanmu dalam koridor yang benar.
5. Terus berlatih, tetap menulis, buatlah konsisten, jangan kasih kendor. Terus menulis dalam hal apa pun, gunakan media sosialmu, hidupkan kembali blogmu. Jangan menyerah, jangan takut salah!
Aku akan membedah lima hal di atas ini di kemudian hari, ketika hari sudah semakin cerah, dan kehebohan memikirkan apa yang harus dimasak hari ini sudah mereda.
Memang tidak mudah, bahkan aku pun masih terus berjuang membuat tulisanku lebih berguna dan berkualitas untuk dibaca. Namun, tidak ada pernah kata salah untuk mencoba.
Setidaknya, jangan biarkan pembacamu sekadar membaca curhatmu belaka. Setuju?
#windyeffendy #menulisberkualitas #menulisbernas #editing #writing
2 comments
Kerasa banget menulis jadi berat kalau gak menguasai materinya.
Makanya buatku penting banget menulis yang sesuai dengan kesukaan. Topik-topik yang gak harus semua butuh dan paham, tapi kita suka dan mendalami, ini akan semakin terasa "kena" di hati pembaca.
Benar mba, kadang menulis yang terlalu di-"ada-adakan" kerasa banget kosong isinya. Yang jelas seringnya itu enggak ada pesan konkrit, apalagi kalo urusan perempuan, lemah tiada berdaya dibiarkan begitu saja. Misalnya cerpen perselingkuhan ^eh, itu yang sering lewat, sering berakhir di nasib perempuannya yang pasrah. Enggak aja pesan yang tersampaikan jadinya. Huhu, syedih. Thanks for comment, mba
Post a Comment