Resensi buku The Architecture of Love karya Ika Natassa—oleh Windy Effendy
Ketika aku ketinggalan nonton filmnya di bioskop—belum sempet pergi nonton, filmnya sudah keburu hilang—aku bertekad untuk membaca bukunya dulu saja. Ternyata, aku jadi berpikir apakah hal-hal sederhana yang tertulis di buku juga sempat tergambar di filmnya.
Setelah membaca A Very Yuppy Wedding (AVYW), aku masih penasaran dengan Ika Natassa, dan segera membaca The Architecture of Love (TAoL). Ternyata, ada hal menarik yang kutemui. Cara Ika Natassa bertutur rasanya lebih baik di buku TAoL dibandingkan dengan di AVYW. Di TAoL, kalimat-kalimat dan diksi yang dipilih terasa lebih kaya dan bermakna dibandingkan dalam AVYW.
Mari kita membahas setting terlebih dulu. Ketika aku pertama kali tahu ada film TAoL di bioskop, yang pertama kali terlintas adalah: mengapa mesti New York lagi. Kemudian ketika aku membaca bukunya, aku pun membatin: baik, ini memang harus New York. Segala alasan mengapa harus New York ada di buku ini. Sesuai judulnya, tentu saja TAoL harus dijalani sambil menikmati detail arsitektur New York—yang memang stunning. Sekilas tebersit di pemikiranku, aku hanyalah iri karena belum pernah ke New York dan (juga) sangat ingin menulis cerita berlatar New York. Aku kemudian berdamai dengan TAoL.
Buku ini mengajak kita ke berbagai sudut New York yang menarik. Pembaca diajak berkelana ke sudut-sudut Grand Central, menelusur ke berbagai toko buku unik seperti WORD di Brooklyn, 192 Books di Chelsea, duduk-duduk di Central Park, mengenal Paley Park, dan masih banyak lagi. Ika juga menyelipkan hal-hal ikonik dari sisi bangunan dan sejarahnya lewat mata River Jusuf, sang arsitek yang merupakan tokoh utama lelaki di buku ini. Ika kemudian membuat pembacanya gelisah melihat tingkah Raia Rasjid, tokoh utama perempuan di buku yang digambarkan adalah seorang penulis. Ketika River diwujudkan oleh sosok Nicholas Saputra dan Raia dijelmakan lewat Putri Marino, aku yakin pecinta buku TAoL akan semakin tergila-gila.
Kisah yang dihadirkan dalam buku ini sebenarnya soal yang sering ditemui di banyak cerita: dua tokoh yang patah hati lalu bertemu dan berusaha mengenal cinta lagi—dengan ragu-ragu. Kurasa dengan cerita seperti ini, pembaca akan menjadi sangat gusar bila tidak berakhir dengan happy ending. Apalagi ketika dua karakter utama muncul dengan sempurna, lagi-lagi, seperti tipe karakter yang selalu muncul dalam tulisan Ika Natassa.
Seperti khas Ika, ceritanya ringan, menarik, setting tergambar detail, ditambah lagi buku ini lebih memiliki ruang untuk menjelajah ke perasaan tokoh-tokohnya. Aku jadi memahami mengapa buku Ika menjadi best seller, juga mengapa buku-bukunya sangat mudah difilmkan.
Satu hal yang menarik dari TAoL adalah bahwa Ika menulis buku ini dengan bantuan pembacanya menggunakan Twitter poll. Bekerja sama dengan Twitter, Ika membuat pembacanya terlibat dalam pengambilan keputusan tokohnya. Sangat menarik. Bahkan tangkapan layar proses polling itu pun ditampilkan di bagian belakang buku ini.
Selalu, seperti setiap kali aku membuat resensi atau ulasan buku, aku tak ingin menulis tentang sinopsis buku ini. Secara singkat, buku ini berkisah tentang sang arsitek yang baru patah hati dan si penulis yang juga baru dikecewakan—dan, bang! Mereka bertemu. Seperti bisa diduga, tentunya cerita berkutat antara tarik ulur rasa dan bagaimana hidup mereka bertautan, di New York, ketika sedang sama-sama berlari dari kenyataan. Kalau kau belum baca bukunya dan nonton filmnya, tetapi ingin tahu bagaimana akhirnya, berdoalah kuat-kuat sepanjang jalan agar mereka memang akan bersatu. Soal konflik apa saja dan bagaimana petir dan guntur menyambar dalam hubungan mereka, silakan menikmati dan menemukannya sendiri.
Banyak meme yang beredar di luar sana, tepat di adegan Mas NicSap meminta Raia untuk duduk. Tanpa membaca utuh, aku menduga bahwa di sanalah letak pain point sang tokoh utama. Apa betul begitu? Bacalah sendiri. Yang jelas, mereka memiliki need yang sama: dicintai dan disayangi. Yang mereka inginkan tentu beranjak maju dari kehidupan mereka. Sekali lagi, buku ini juga bicara soal masa lalu yang membayangi perjalanan ke depan. Nyaris seperti buku yang kubaca—dan kuulas di sini—sebelumnya, Pasta Kacang Merah karya Durian Sukegawa.
Aku sempat mendengar dua sudut pandang berbeda dari beberapa teman yang sudah menonton film TAoL. Yang pertama, berpendapat bahwa film itu benar-benar film ringan banget. Ceritanya sederhana sekali. Cinta-cinta-cinta, lalu sudah. Hanya bermodalkan Mas NicSap dan setting yang wow, lalu film ini menjadi laris. Bukunya juga. Cuma begitu aja, tidak berbobot, dan lain-lain. Ini pendapat dari beberapa teman jurnalis dan pujangga sastra.
Yang satu lagi, filmnya bagus banget. Ceritanya seru. Pemainnya ciamik. Kisahnya menarik. Tokohnya simpatik. Pokoknya sangat worth to watch. Penulisnya brilian. Sutradaranya keren. Tempatnya menawan. Ini adalah pendapat dari para teman yang menikmatinya dengan santai.
Tidak ada yang salah dengan dua pendapat itu. Keduanya memiliki sejarah preferensi dan pengalaman hidup masing-masing yang pada akhirnya melatarbelakangi opini tentang TAoL. Bagaimana denganku?
Aku belum menonton filmnya, tetapi menurutku bukunya memang menarik. Ika menuliskannya dengan lebih kompleks, lebih matang, lebih dinamis. Tentu saja, ini kubandingkan dengan buku pertamanya AVYW—yang baru saja kubaca.
"Duduk! Aku bilang duduk ya kamu duduk! Pasang seatbelt kamu!" ~River Jusuf
Sekali lagi, ini adalah soal selera.
Di saat kau sedang lelah dengan tumpukan tugas dan pekerjaan yang tiada habisnya, buku ini menjadi satu oase menyegarkan tanpa perlu memikirkan apa yang harus diperas dalam-dalam dari ceritanya. Baca saja, dan nikmati.
Judul Buku: The Architecture of Love
Penulis: Ika Natassa
Editor: Rosi L. Simamora
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan kedua, Juni 2016
Jumlah Halaman: 304 halaman
#windyeffendy #resensi buku #thearchitectureoflove #ikanatassa
No comments
Post a Comment