Resensi buku Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong karya Eka Kurniawan
—oleh Windy Effendy
Pertama kali aku mendengar buku ini hadir, judulnya segera mengejarku. Ada apa, apa yang terjadi, mengapa harus begitu? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul setiap kali ada yang membahas tentang buku ini. Akhirnya, sebuah keputusan pun muncul: aku harus membeli buku ini.
Membaca Tuntas dalam Lima Jam
Buku itu hadir di rumah ketika malam sudah tiba. Aku baru membuka kemasan pengiriman di awal pagi keesokannya. Kuelus jaket buku yang berwarna merah muda itu, pembungkus hard cover berwarna biru tua dengan emboss figur persis seperti di sampulnya. Desain sampul karya seniman kenamaan Wulang Sunu yang sangat menarik. Kemasan yang menggoda. Satu kartu pos terselip di dalamnya, plus pembatas buku. Ah, aku pun mendapatkan tanda tangan Eka Kurniawan di halaman judul. Love it.
Pengalaman membaca Cantik Itu Luka membuatku agak deg-degan ketika mulai membaca buku ini. Kegetiran macam apa lagi yang akan ditawarkan oleh Eka Kurniawan dalam buku ini, begitu yang kupertanyakan. Mulai muncul keraguan dalam hati, apakah aku akan membacanya nanti di saat yang tepat, atau mulai membacanya saat itu juga.
Ternyata, tidak pernah ada saat yang tepat. Aku yang berniat mencicip sedikit tulisan Eka di halaman pertama, justru tidak bisa berhenti. Aku berlari, di hari itu juga, untuk menyelesaikan buku itu, dalam waktu sekitar lima jam—dengan gangguan ini itu termasuk bersiap berangkat mengantar anak gadisku. Aku tidak menyetir sehingga aku bisa dengan bahagia menyelesaikan buku itu. Tepat pukul sebelas tiga puluh—setelah mulai membaca pukul enam pagi—aku menyelesaikan buku itu di halaman Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Kholas!
Selesai, dan tertegun. Eka Kurniawan menyeretku dengan mudah ke dalam sebuah pusaran isi kepala seorang anak lelaki bernama Sato Reang, yang mempertanyakan berbagai hal dalam kehidupannya, terutama tentang kesalehan. Aku berkata pada suamiku, kamu harus baca buku ini. Sebagai anak lelaki, kamu akan merasa sangat relate. Aku yang membaca dari awal—dengan tertawa lalu merenung, lalu tertawa lagi, lalu sebal, lalu mengangguk setuju, bahkan menjerit kecil ketika menemukan sesuatu yang membuatku kesal. Suamiku hanya tertawa kecil dan berjanji akan membacanya nanti di rumah. Tentu, kami masih dalam mobil menanti anak gadisku selesai berurusan dengan dosennya.
Petualangan Kesalehan Sato Reang
Menemukan nama Sato Reang, membuatku bertanya-tanya di mana sebenarnya setting cerita yang dipilih oleh Eka Kurniawan. Awalnya kukira cerita itu berlatar Sumatera atau Sulawesi, ternyata aku salah. Latar ceritanya di sebuah kampung bernama Rawa Batu, yang ketika kucari lebih dalam tidak kutemukan petunjuk di mana Rawa Batu ini berada. Merujuk pada nama-nama daerah yang menggunakan nama Rawa, aku pun berasumsi cerita berpijak di bumi tanah Jawa, anggaplah sekitar Semarang atau di Jawa Tengah. Ada nama-nama yang lazim ditemukan di Pulau Jawa, seperti Bandi, Ridwan, Jamal, dan Ningsih, serta Kiai Jumadi, aku pun menguatkan asumsiku. Sekadar untuk menguatkan nikmat saat membaca. Muncul pula nama Masjid Awu-Awu Langit. Kata "awu-awu" bisa merujuk pada kata di bahasa Jawa yang berarti pura-pura. Lalu mengapa ada Sato Reang? Nama pemberian bapaknya itu berasal dari sebuah nama tokoh di tulisan sang bapak. Ah, carilah sendiri kisahnya dalam buku itu. Eka juga menyelipkan budaya lelayu yang jamak di masyarakat Jawa, juga kedekatan sosial yang tinggi di lingkungannya.
Satu hal yang paling menarik yang diangkat oleh Eka Kurniawan di buku ini adalah kejujuran. Terutama yang berhubungan dengan kesalehan. Eka tidak bicara soal dogma-dogma agama bagaikan khotbah, melainkan dari sisi lain. Dari sisi seorang anak lelaki yang mempertanyakan mengapa, mengapa harus. Mengapa harus salat, mengapa harus mengaji. Mengapa harus bangun pagi dan ikut salat jemaah di masjid. Mengapa harus jadi anak saleh. Sebuah janji yang diberikan di awal cerita oleh Eka, yang ditepatinya di sepanjang perjalanan: mempertanyakan mengapa harus menjadi anak saleh. Mengapa.
Aku dibawa berkelana ke dunia Sato Reang yang entah bagaimana aku merasa itu memang nyata adanya. Ada hari-hari di masa kecil dulu yang penuh dengan keinginan untuk mengelak, berkata tidak, bahkan untuk memberontak. Semakin dikekang, semakin ingin lari. Semakin dibilang tidak boleh, semakin bertanya mengapa. Sato Reang mewujudkan sosok seorang anak kecil yang lari dari tali kekang itu dan mencari jawabannya sendiri. Mungkin anak kecil itu adalah kamu.
Aku berpikir seandainya buku ini dibaca oleh mereka yang tidak bisa memandang sebuah karya sastra dari sisi estetika dan esensi, mungkin akan muncul perintah untuk tidak membaca, jangan membaca buku ini. Buku ini akan menyesatkanmu. Apa benar begitu? Bagiku, buku ini justru membuka jalan ke dalam sisi terdalam pikiran yang selalu berperang akan baik dan buruk. Bila buku ini dibaca oleh para orang tua, seharusnya mereka jadi paham bagaimana isi kepala anak-anak—lebih tepatnya anak lelakinya. Buku seperti ini juga akan membuat satu diskusi panjang yang menyenangkan, bila memang pembacanya berpikiran terbuka. Sebuah diskusi tentang memahami isi kepala anak, dan bagaimana cara berkomunikasi dengan anak. Panjang, bisa jadi live series di sosial media, LOL.
Sato Reang menganalogikan kehidupannya saat itu seperti sebuah bola sepak berwarna ungu. Bola sepak ini yang digunakan Sato Reang dan kawan-kawannya untuk bermain di lapangan surau, tanpa mengindahkan panggilan salat, suara azan, ajakan sang Kiai untuk berhenti. Bola sepak yang akhirnya digorok hingga terbelah dua oleh ayahnya. Seperti itulah masa kanak-kanaknya: mati terbelah tak berguna berkat ayahnya. Dan tentu saja, dendam seorang Sato Reang terhadap ayahnya ini akan menghiasi perjalanannya maju ke depan.
Penulisan ala Eka Kurniawan
Eka mengisahkan si Sato dengan sudut pandang orang pertama; menggunakan kata ganti aku. Namun, di beberapa titik, aku menemukan Eka berpindah sudut pandang ke orang ketiga tanpa aba-aba. Ada satu dua bab yang seluruhnya menggunakan PoV orang ketiga. Namun, tidak sedikit juga yang tiba-tiba berubah jadi orang ketiga di satu bagian yang awalnya menggunakan PoV orang pertama. Untuk seorang Eka Kurniawan, itu boleh, sah-sah saja. Disebutkan juga di bagian belakang bukunya:
Kadang ia demikian intim dengan dirinya, sehingga ini meraupakan cerita tentang aku, tapi lain kali ia tercerabut, dan ini menjadi kisah tentang Sato Reang.
Jadi, jangan sampai bingung ketika tiba-tiba si aku menghilang dan kita ditarik untuk melihat dari luar, mengamati seorang Sato Reang.
Eka menuliskan kisah Sato Reang ini dengan alur maju mundur. Diawali dengan semacam prolog tentang percakapannya dengan Jamal, satu teman yang tidak ingin dijadikan kawan, lalu mundur lagi ke masa saat Sato Reang harus mulai menjadi anak saleh: ketika dia disunat. Lalu maju ke depan hingga dia SMA dengan sedikit tarik mundur saat menceritakan kegemaran ayahnya menulis cerita silat dan asal usul namanya. Juga di bagian saat menceritakan Barkah, nelayan tua sahabat ayahnya yang memiliki kisah asmara tersembunyi.
Aku banyak menemukan paragraf deduktif dalam tulisan Eka. Sesuatu yang ditekankan di awal, dan dijelaskan di kalimat-kalimat berikutnya. Dan cara mendeskripsikan Eka sungguh menyenangkan. Mengalir begitu saja tanpa perlu menggurui. Pemilihan diksi yang ringan tapi tepat, sungguh menggiringku ke halaman berikutnya dengan cepat. Tak perlu prosa berbunga-bunga, justru kata-kata yang tepat dan penggambaran yang jelas membuat buku ini terasa sangat jernih. Sejernih kejujuran isi kepala Sato Reang.
Eka menyelipkan sedikit pembahasan tentang Darul Islam, PKI, dengan dititipkan pada Sato Reang dan kawan-kawannya. Hanya sekilas saja, tidak berat, dan tidak membuat kita menuduh buku ini bermuatan politik. Tidak. Itu hanya sekadar kisah selintas di balik candaan Sato kepada si Jamal, yang sayangnya memang ada sedikit kebenaran dari canda satire itu.
Lalu, dari mana asalnya judul yang menarik itu? Tidak kutemukan sedikit pun serempetan dalam buku yang berkaitan dengan judul. Dilansir dari detik.com, Eka berkata bahwa judul itu datang begitu saja di tengah-tengah. Apalah arti sebuah judul, katanya. Hm, dengan segala hormat, Eka, judul itu yang membuat aku jadi sangat ingin membelinya.
Bacalah dengan Bahagia
Buku ini sangat rekomen untuk dibaca. Sangat. Namun, bacalah dengan bahagia. Jangan bersusah payah mengaitkan soal agama saat membacanya. Nikmati saja. Jadilah penikmat buku sastra yang bahagia. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari buku ini, termasuk bagaimana cara menulis yang baik. Buku yang ada di tanganku sudah penuh dengan coretan dan stabilo, yang kemudian membuat buku ini menjadi panduan seru menulis novel bagiku.
Jangan meminjam, belilah saja. Tidak ada ruginya memiliki buku ini dalam koleksimu. Dengan 135 halaman, bisa habis dibaca sekali duduk, dan direnungkan seharian penuh. Perenungan yang membuatmu menoleh ke kanan, menatap sang suami, lalu membatin: jangan-jangan dulu isi kepalanya juga begitu?
Mungkin saat itulah aku sungguh-sungguh merasa, aku sama sekali tak ingin menjadi anak saleh, dan perasaan itu semakin tumbuh setelah kejadian bola plastik warna ungu. ~Sato Reang.
Seberani apa kalian menanyakannya? Atau sebaliknya, seberani apa kalian membongkar isi kepala anak kecil yang ada di masa lalumu? [WE]
Judul buku: Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong
Penulis: Eka Kurniawan
Cetakan Pertama, Agustus 2024
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Ukuran: 13 x 19 cm
Tebal: 135 halaman
No comments
Post a Comment