Aku dan Batik, Dulu dan Kini
Siapa yang tak kenal batik, pasti kita kenal baik. Sejak kecil, dari zaman di sekolah dasar, selalu ada satu hari yang menggunakan batik. Dulu, masa aku SD, biasanya setiap Jumat harus selalu pakai batik. Batik seragam sekolah, yang dulu rasanya ya begitu-begitu saja motifnya.
Setelah beranjak dewasa, mau tak mau harus selalu punya koleksi batik. Baik berbentuk atasan atau rok, harus selalu ada di lemari karena ada saja hari yang mengharuskan pakai batik, baik di kantor atau di acara lain.
Semakin ke sini, aku semakin mengenali motif yang kusuka, jenis busana yang pas untukku saat harus berbatik ria, dan tentu saja warna-warna yang sesuai untukku. Jadilah aku mengoleksi rok batik dan satu lagi yang belakangan kusuka: outer batik. Mau panjang, pendek, hayuk aja.
Setiap kali menemukan kain batik tak bertuan–eh, maksudnya lama disimpan lupa belum diapa-apain–segeralah kain itu meluncur ke penjahit pribadi dan menjadi satu outer. Pernah juga menemukan satu pasang kain batik yang diberi oleh penyelenggara acara tempat kami berdua–aku dan suami–mengajar bareng. Warnanya serupa, motifnya pun juga. Akhirnya, kami pun jadi punya satu pasang batik, walau warnanya enggak aku banget, yang bisa dipakai bersamaan.
Satu dari koleksi yang paling kucintai adalah, sebuah outer batik dengan motif kopi. Warnanya hitam putih pula. Duh, pertama kali melihatnya di outlet Batik Banaran di Kedai Kopi Banaran-Salatiga, aku langsung jatuh cinta. Enggak pakai lama, dia berubah menjadi outer. Masih ada sisa kain, kujadikan sarung bantal, dan satu hiasan dinding. Kainnya memang agak tipis, tetapi enak dipakai. Si outer batik kopi Banaran ini yang akhirnya sempat ikut jalan-jalan ke Kuil Sensoji, Asakusa, Tokyo, dan di Kuil Fushimi Inari, Kyoto. Kupakai outer batik kopi ini dengan bangga, di tempat-tempat yang paling kuidamkan di dunia. Bahagia.
^tulisan ini dibuat untuk Festival Literasi Perlima-Jurnal Oktober yang juga dimuat di :
No comments
Post a Comment