Delapan Enam, Semua Aman!

 Resensi buku 86 Karya Okky Madasari oleh Windy Effendy

Berada dalam kelas menulis yang diampu Mbak Okky telah membuatku penasaran untuk lebih banyak membaca bukunya. Akhirnya, aku mendapat satu buku lamanya yang cukup menarik bagiku. Judulnya seketika membuatku membayangkan betapa seru cerita di dalamnya.



Buku ini menceritakan lingkaran kegelapan dan carut marutnya dunia hukum. Berkisah tentang Arimbi, seorang perempuan muda yang bekerja di kantor kejaksaan di Jakarta. Dimulai dengan gambaran lingkungan tempat tinggal Arimbi di Jakarta, yang kemudian diperbandingkan dengan saat dia masih kuliah di Solo. Berawal dari situ, pembaca digiring menuju ke kantor Arimbi. Tempat bersilangnya aneka kepentingan dan keputusan yang mengatasnamakan rakyat. 

Dan tentu saja ternyata, berseliwerannya amplop-amplop dan jabat tangan persetujuan yang membuat semuanya menjadi lancar. Hal itu baru diketahui oleh Arimbi lama setelah dia bekerja di sana. Arimbi pun berkenalan dengan dunia baru yang membuat hidupnya jauh lebih nikmat. 

Membaca buku ini jadi deg-degan. Aku menanti-nanti kapan Arimbi akan terperosok, tentu saja. Namun, tidak semudah itu. Mbak Okky memanjakan pembaca dengan mengisahkan betapa Arimbi kemudian hidup bahagia, berjumpa dengan lelaki yang menjadi suaminya, lalu dia mulai terlena dengan nikmatnya hidup dalam kemudahan. 

Lalu tibalah saat Arimbi memang harus mendapatkan akibatnya, hanya karena membantu atasannya. Mereka dipenjara bersama-sama. Dalam penjara, pembaca akan dibukakan matanya dengan dunia lain yang selama ini hanya dalam "katanya". Kemudahan itu ada di sana, yang penting uang bicara. Delapan enam, semua pasti aman.

Kata orang, hidup itu harus selalu naik levelnya. Dan Arimbi pun demikian. Naik level itu harus, termasuk dari hanya mengontrak kamar menjadi membeli rumah. Namun, setiap langkah memiliki konsekuensinya. Ada harga yang harus dibayar. 

Ending dari novel ini pun membuat pembaca (baca: aku) menahan mulut untuk berkata, "Kapokmu kapan!" Sebuah dorongan untuk menjadi lebih baik, memiliki sebuah impian, kebutuhan yang mendesak, terkadang menjadi alasan yang dibenarkan untuk bertindak hingga keluar jalur. 

Novel ini dikisahkan dengan sangat jernih. Tanpa perlu kata-kata berkembang-kembang, Mbak Okky menuliskan dunia seputar uang di kantor pemerintahan ini dengan sangat gamblang. Fakta yang dipotret dengan dihiasi oleh drama percintaan tokoh yang menjadi latar belakang setiap tindakan, serta kondisi keluarga Arimbi yang juga menjadi alasan, berkelindan menjadi satu cerita yang kuat. Deksripsi yang diberikan sangat terang, membuatku ikut berkelana dalam kehidupan Arimbi. Tidak diperlu difilmkan, dalam benakku sudah tercipta film utuh dari novel ini. 

Alur novel ini maju ke depan. Sedikit mundur ke belakang ketika bercerita soal masa kuliah Arimbi, tetapi seterusnya maju pantang mundur ke depan karena memang harus menggerakkan cerita menuju konflik utamanya. Tokoh utama, Arimbi, berkonflik dengan dirinya sendiri, dan tentu saja masalah dengan lingkungan sekitarnya. Arimbi melakukan tawar-menawar dengan hatinya, apakah yang dilakukannya benar atau salah. Arimbi juga berhadapan dengan orang-orang yang merasa bahwa situasi yang ada di saat itu adalah "biasa", sehingga Arimbi pun berubah dan beradaptasi untuk menjadi bagian dari mereka. 

Pembaca diajak berkenalan dengan tokoh-tokoh pendukung yang tak terduga. Tutik, rekan satu sel Arimbi, misalnya. Kehadiran tokoh Tutik ini akan menjadi pembuka hidup Arimbi ke level berikutnya. Kehadiran Ananta, suaminya, juga merupakan penggerak cerita yang cukup masif walaupun seakan-akan dikisahkan tak begitu sering. Tanpa Ananta, kisah Arimbi ini tak akan berwarna.

Ini adalah buku kedua dari Mbak Okky, setelah menelurkan buku pertamanya yang berjudul Entrok pada 2010. Ciri khas seorang Okky Madasari yang selalu bercerita dengan lugas pun terbaca nikmat di novel ini.  Pembaca pun dibawa menuju pemakluman dan pemahaman tentang kondisi tokoh hingga akhirnya harus memutuskan untuk berbuat lebih berani dalam hidupnya. Pembaca pun dibuat paham bahwa sesuatu yang tabu menjadi bukan hal baru ketika semua orang sudah melakukan. Namun, sesuatu yang salah tetaplah salah. Sayangnya, dalam penghukuman pun masih ada pemakluman yang lain.

Geram, sebal, sedih, bercampur jadi satu setelah membaca buku ini. Kehidupan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, muncul di hadapan. Ingin rasanya bertanya, bagaimana nasib Arimbi setelah ini? Tentunya, Arimbi menjadi potret dari banyak sosok perempuan yang harus berjuang untuk melanjutkan hidupnya dalam keruwetan masalah yang silih berganti mendatangi.

Aku sangat bersyukur telah memutuskan untuk membeli buku ini. Selain untuk belajar bagaimana cara Mbak Okky menulis, aku juga belajar banyak tentang dunia tersembunyi itu. Buku yang sangat keren untuk dibaca, sangat seru untuk dinikmati. 

Judul Buku       : 86
Penulis              : Okky Madasari
Penerbit             : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 254 halaman
Cetakan kelima, Agustus 2017


No comments