Menikmati Buku dan Film Dalam Satu Langkah

Resensi Buku A Copy of My Mind karya Dewi Kharisma Michellia—oleh Windy Effendy

Pertama kali aku mendengar tentang buku ini adalah langsung dari penulisnya, Kak Mimi, demikian aku memanggilnya. Persoalan yang ingin kucermati adalah teknik menulis novel dengan PoV yang berpindah-pindah.


Buku kubeli, kubolak-balik sekilas, hanya kuperhatikan bagaimana menulis PoV yang bergantian itu, lalu baca bab 1, dan sudah. Buku kuletakkan. Tak pernah kusentuh lagi sejak itu karena waktu berlari membawa pekerjaan-perkerjaan yang menduduki puncak ekosistem kehidupanku. Dan itu berulang. Semacam tidak menemukan jalan menuju anak tangga yang terabaikan: membaca buku.

Kini, ketika aku berkutat lagi dengan tulisan yang membutuhkan PoV berganti-ganti, aku seketika ingat pada buku ini. Kucari dia. Aha, ternyata dia tersembunyi di sana, di deretan buku yang kunamai dengan: Buku-buku yang harus dibaca dengan segera: sebuah referensi.


Buku yang Ditulis dari Film

Lalu aku memulai perjalananku membaca buku ini. Fokus. Meninggalkan bab demi bab dan melaju sampai tuntas. Oh, tidak. Tidak sampai tuntas. Di tengah jalan aku melakukan satu manuver yang baru kulakukan dua kali selama hidupku.

Jadi, ceritanya buku eh novel ini ditulis oleh Dewi Kharisma Michellia berdasarkan sebuah film dengan judul yang sama, A Copy of My Mind, karya Joko Anwar. Kak Mimi bercerita bahwa ia diberi kebebasan sebebas-bebasnya untuk menuliskan film itu dan mengalihmediakan menjadi sebuah novel. Voila, muncullah buku ini. 

Aku pun jadi penasaran, seperti apa filmnya. Aku cari di internet, dan aku putar. Aku jeda sebentar pembacaan novelku untuk mengamati film. Aku mengamati di mana film ini dimulai, ke mana film ini bergerak, sambil membandingkannya dengan buku yang ada di tanganku. Lalu, sambil memutar film itu, aku meneruskan membaca novelnya sambil sekali-sekali melirik ke arah adegan yang (sudah kubaca dalam novelnya beberapa menit sebelumnya) sedang berjalan. 

Hal seperti ini pernah kulakukan, dulu, semasa aku kuliah dan pulang liburan ke rumah orang tua, saat aku mendapat satu file skenario Batman Return.  Aku mencetak skenario setebal lima ratus lembar itu—yes,  Anda tidak salah baca, satu rim kuhabiskan untuk mencetak skenarionya—sambil memutar film Batman Return  di DVD player. Tidak ada orang di rumah, semua sedang sibuk dengan urusannya di luar, lalu aku menikmati setiap adegan demi adegan yang kucocokkan dengan skenario yang tertulis. Hanya demi mengetahui sejauh mana sebuah adegan yang tertulis di script ditampilkan di filmnya. Iya, memang, agak laen aku ini. Tapi kepuasannya, wow.


Kisah Cinta Sari dan Alek

Nah, kembali ke buku ini. Aku ceritakan dulu isinya sekilas yang mengisahkan tentang dua anak manusia bernama Sari dan Alek. Seperti yang sudah aku sebutkan tadi, penceritaan Kak Mimi menggunakan dua PoV bergantian dari sudut pandang orang pertama. Sari, diceritakan menggunakan kata ganti AKU, dan Alek, diceritakan dengan kata ganti GUE. Pembaca akan langsung tahu dan memahami bahwa sudut pandangnya berubah. Dan jangan lupa, perubahan itu tidak hanya dari pemilihan kata ganti melainkan juga dari cara bertuturnya. Kalimat-kalimat yang menunjukkan isi kepala Sari dan Alek sangat jauh berbeda. Dengan sempurna, aku berkenalan dengan dua tokoh utama ini.

Urusan terbesarnya adalah soal cinta. Namun, bukan sembarang cinta. Sari, yang bekerja di sebuah salon di sudut ibu kota, hidup dalam ritme teratur dan merasa sudah oke saja dengan apa yang dijalaninya. Alek, seorang pembuat teks terjemahan untuk film bajakan, hidup dengan seru di antara pekerjaannya, balapan motor, dan bahkan berjudi. Keduanya hidup tanpa merasa perlu harus jatuh cinta, tadinya. Ketika kedua tokoh ini bertemu karena urusan film yang menjadi benang merah kehidupan mereka, di situlah kisah mulai bertaut. Perjalanan Sari menjadi tukang salon membawanya ke pelayanan pribadi seorang pesakitan VIP. Sayangnya, Sari salah langkah dengan iseng mengambil satu CD koleksi pelanggannya. Ketakutan akan ketahuan, lalu benar-benar ketahuan, menyadari kebodohan, penyesalan, hadir bertubi-tubi dalam adegan-adegan berikutnya. Adegan yang terjadi silih berganti antara Sari dan Alek,  yang dengan indahnya saling melengkapi, atau lebih tepatnya saling mencari. 

Serunya menggunakan dua PoV yang bergantian ini adalah pembaca yang jadi dimanjakan. Kita bisa tahu apa isi kepala Sari, apa isi kepala Alek, sementara mereka tidak tahu-menahu sedikit pun tentang isi kepala lawannya. Kita bisa ikutan gemes, membodoh-bodohkan, menyesal, gembira, and etc, you name it. Oh satu lagi, spoiler alert, ada adegan erotika di buku ini. Read wisely. Namun, jangan kuatir. Aku bilang erotika, bukan "adegan dewasa". Itu karena bukan tutorial yang kalian akan baca, tetapi sebuah romansa bercinta yang artistik—anyway, still, read wisely.

Nah, yang paling seru adalah ketika ending. Kisah itu memiliki alur melingkar. Pembaca dibawa kembali ke titik awal kisah bermula. Sari yang berada di kos, antri mandi, untuk bersiap kerja, merebus mi goreng untuk makan, gaji pas-pasan. Seolah episode tentang Alek tak pernah ada dalam hidupnya. 


Kepuasan Menonton Filmnya 

Hal-hal itu yang membuat aku penasaran ingin menonton filmnya seperti apa. Aku ingin tahu bagaimana proses berpikir seorang Mimi sehingga bisa menelurkan sebuah buku yang dituliskan dari film. Sebuah proses yang sangat seru dalam sudut pandangku! 

Setelah aku menemukan filmnya, ternyata film itu dibuka dengan adegan  facial di salon tempat Sari bekerja. Sementara di buku, adegan pertama adalah perjalanan Sari menuju tempat kerjanya di dalam metromini. Dari situ, aku menemukan banyak hal yang menarik. 

Bila aku menonton filmnya terlebih dahulu, bisa jadi aku (hanya) akan menikmati alur perjalanan hidup Sari (diperankan oleh Tara Basro) yang kemudian menemukan Alek (diperankan oleh Chicco Jerikho). Percintaan mereka, kegaduhan peristiwa CD, dan kesakitan Sari saat kehilangan Alek (ups!) lewat air mata dan gesture tubuhnya. As a movie, yah, pemakluman sebesar-besarnya pada film tahun 2015 yang belum seperti sekarang cakepnya. Gambar gelap, suara kurang jelas, dan begitulah. But this movie is good. Bagus. Penceritaan Joko Anwar membuat gambar-gambarnya bicara dengan sangat indah, permainan aksi Tara Basro dan Chicco Jerikho pun memikat.

Nah, karena aku membaca bukunya terlebih dahulu, aku jadi tahu isi kepala Sari dan Alek. Dan itu membuat menonton filmnya jauh lebih nikmat. Aku pun tahu dan memahami rahasia mengapa ia memilih untuk tetap tinggal di kos yang ruwet dan rungsep itu, lalu aku bisa tahu bagaimana Alek bekerja dan memilih hidup sebagai seorang pembuat teks film bajakan. Aku bisa tahu uang Sari yang tersisa hari itu tinggal tiga puluh ribuan, dan aku jadi tahu bagaimana Alek memilih untuk tinggal di kosnya saat itu sambil merawat sang ibu kos. Demi uang dari anak sang ibu kos, demi kemudahan dan keringanan hidupnya yang pas-pasan. Aku jadi tahu bagaimana Alek kelihangan cintanya yang lama, aku jadi tahu bagaimana Sari berjuang mempertahankan pekerjaannya di ibu kota.

Itu tidak bisa ditemukan bila berangkat nonton filmnya tanpa bekal membaca buku. Sejujurnya, aku memang lebih menikmati membaca buku daripada menonton film dengan judul yang sama. Kesamaan isi buku dan film A Copy of Mind  adalah karena bukunya dituliskan sesuai dengan film. Biasanya ketika sebuah buku difilmkan, yang terjadi adalah beberapa bagian disesuaikan agar bisa digunakan dalam film. Seperti diskusi seruku dengan anggota divisi Program di Perempuan Penulis Padma (Perlima) tentang film dan buku The Architecture of Love  karya Ika Natassa. Banyak hal-hal yang terlukiskan dengan sempurna dalam buku, dan ada hal-hal yang tidak ada di buku kemudian muncul di film. 

Namun, hubungan sebaliknya terjadi dalam A Copy of My Mind.  Filmnya menjadi serangkaian adegan praktis dari bukunya yang sangat kaya. Film itu menjadi sangat kompleks ketika dibaca bukunya terlebih dahulu. Tidak ada adegan yang tidak sama antara buku dan film. Semua detail dan semua hal kecil: sama. Dialognya sama persis. Bahkan begitu kaya, ruah melimpah detail dalam bukunya yang mendukung film ini.

Aku menjadi sangat puas membaca bukunya. Tara Basro dan Chicco Jerikho—yang muncul di sampul buku ini—menjadi wajah pemain di film dalam kepalaku saat membaca bukunya. Love it!

Catatan Kehidupan

Setiap karya dan media karya memiliki penggemarnya masing-masing. Baru kali ini aku menemukan kepuasan membaca buku dan menikmati film sekaligus. Merasa seketika lebih kaya dalam satu langkah! Terima kasih, Kak Mimi dan Pak Joko Anwar yang telah membuat karya semeriah ini.

Sebuah catatan untuk kehidupan yang dapat kuambil dari buku dan film ini adalah—bila memang itu harus ada demi sebuah pesan moral: ketahuilah batasanmu, jangan berlebihan bertindak, bergeraklah dalam lintasanmu. Satu hal yang dilakukan Sari dan kemudian menghancurkan hidupnya yang baru saja indah adalah mengambil CD itu dari kamar kliennya di penjara. Andai tidak ada itu, tentu tidak ada konflik. Namun, begitulah sebuah kisah diciptakan. Dari sebuah kejadian yang bergulir menciptakan kejadian yang lain, yang kemudian dibaca atau ditonton oleh penikmatnya. 

Sebuah sore yang panas di barat Surabaya telah kulalui dengan menuntaskan satu judul ini dalam dua media sekaligus; dan itu membuatku sangat puas!


Judul Buku        : A Copy of My Mind
Penulis               : Dewi Kharisma Michellia
Penerbit             : Kompas Gramedia
Editor                  : Septi Ws
Soft Cover, iv+199 halaman
Cetakan Pertama, April 2016


#resensibuku #acopyofmymind #dewikharismamichellia #windyeffendy #jokoanwar

No comments