Sebuah Catatan Atas Ketiadaan

Resensi Buku Diary of Void oleh Windy Effendy



Perempuan, di masa kini, masih hidup di antara nilai-nilai yang berdasar pada aturan lama. Sekuat apa pun teriakan untuk menyetarakan gender, menghapuskan patriarki, atau menyamakan kedudukan perempuan, masih ada norma dan nilai yang mengepung dari sekitar. Terkadang, itu dibisikkan atas nama kodrat.

Diary of a Void mengajak pembaca merenungkannya. Buku karya Emi Yagi ini memberi arti pada kekosongan, ketiadaan, atau kehampaan yang menelusup dalam kehidupan seorang Shibata, tokoh utama dalam buku ini. Berlatar tempat di Jepang, dengan situasi perkantoran dan berputar di kehidupan Shibata, perempuan berusia 30 tahunan yang bekerja di sebuah kantor pembuat core tabung untuk gulungan kertas. 


Rahasia Shibata

Di kantornya, Shibata bekerja "serabutan", mengerjakan berbagai pekerjaan kecil yang sebenarnya tidak masuk job description-nya.  Mengangkat isu diskriminasi pekerja kantoran perempuan di Jepang yang cukup kuat, Shibata mewakili sosok perempuan yang harus mengerjakan semua "tugas perempuan" yang remeh-temeh. Membuat kopi, mengurusi snack, membagi kue kiriman dari klien, membereskan sampah, hingga mengganti tinta mesin fotokopi. Emi Yagi menggambarkannya dengan lugas menggunakan PoV 1, menggunakan suara Shibata yang tegas.

Kalau aku diam saja dan melanjutkan pekerjaan, muncul suara-suara: "Hei, Kopi." Aku bukan kopi. ~ Bab "Kehamilan Minggu ke-16", halaman 47

Shibata pun menemukan sebuah jalan keluar. Ia kemudian menyadari bahwa walaupun posisinya sebagai pekerja perempuan yang harus "rela" mengerjakan tugas-tugas yang tiba-tiba menjadi kewajibannya itu, ada hak istimewa yang bisa dimilikinya. Hanya apabila dia hamil. Dan begitulah, tiba-tiba Shibata pun hamil. Dengan pernyataan itu, Shibata mendapatkan berbagai perlakuan istimewa sebagai seorang perempuan yang mengandung. Semua pekerjaan remeh-temeh di kantor tak lagi menjadi bebannya. Shibata mulai menikmati kehamilannya. 


Perjalanan Kehamilan Shibata

Kisah yang dimulai dengan bab "Kehamilan Minggu ke-5" ini pun bergulir hingga bab terakhir saat Shibata sudah melahirkan. Namun, apakah Shibata benar-benar hamil? Pembaca dibawa serta menikmati kehamilan Shibata, ikut melegitimasi kebohongannya. Seperti bola yang bergulir, kebohongan pertama akan membawa ke kebohongan-kebohongan berikutnya. Reality is surealism, dalam dunia Shibata.

Dengan judul bab yang berdasar pada timeline perjalanan kehamilan Shibata, pembaca jadi turut merasakan perkembangan janin dan semua pengalaman Shibata sebagai perempuan hamil. Termasuk merasakan semua hak-hak istimewa yang didapatkannya. Tidak hanya itu, pengalaman-pengalaman baru Shibata—misalnya ikut senam hamil dan berkenalan dengan ibu-ibu hamil lainnya—pun menjadi momen penting dalam cerita ini. Emi Yagi pun berhasil memaksa pembaca untuk mempercayainya, mempercayai Shibata, mempercayai kehamilannya. 

Pace cerita yang cukup lambat,  yang sering digunakan pada cerita Jepang, membuat pembaca yang tidak sabar akan cepat-cepat menutup bukunya. Bila tidak terbiasa membaca karya-karya sastra yang berkutat pada pikiran tokoh, buku ini bisa menggiring pembaca pada kebosanan. Namun, sangat menarik menikmati semesta yang kabur dalam buku ini. Dunia yang tidak nyata bagi Shibata—juga pembaca—dan menghasilkan satu pertanyaan besar: apakah rahasianya akan terungkap?


Gagasan yang Membelenggu

Kisah Shibata dalam buku ini membawa pada satu renungan dalam. Sering kali, sebuah gagasan yang muncul ternyata membelenggu pikiran kita sendiri. Terutama ketika harus berpapasan dengan norma dan aturan yang ada di masyarakat. Lingkungan kerja dan kehidupan di Jepang yang bersifat patriarkal mendorong munculnya tulisan-tulisan semacam ini, kesusastraan tentang gender yang mengangkat diskriminasi wanita. 

Penulis-penulis Jepang perempuan yang menyuarakan kesetaraan perlakuan gender pun bermunculan. Sebut saja Meiko Kanai dengan novelnya Mild Vertigo yang menceritakan Natsumi, ibu rumah tangga yang tinggal di apartemen di Tokyo bersama keluarganya. Pergolakan batin Natsumi pun menjadi sorotan di novel itu. Ada juga The Hole  karya Hiroko Oyamada yang mengisahkan kekosongan yang dirasakan Asa, seorang ibu rumah tangga. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan baru karena mengikuti kepindahan suaminya, sekaligus hidup berdekatan dengan mertuanya. Masih banyak lagi novel Jepang dengan napas yang sama.

Dalam Diary of Void, Shibata mewakili para perempuan yang ingin berteriak bahwa hidup tidak sesederhana mengaduk kopi, mengganti tisu di toilet, atau menyajikan teh kepada tamu. Pekerjaan domestik yang biasanya dilakukan oleh perempuan di rumah tidak serta merta menjadi tugas perempuan pula di kantor.

Penceritaan Emi Yagi untuk isu diskriminasi pekerja perempuan sangat lucu dan cerdas.  Kritik disampaikan dengan halus, sekaligus diperbandingan dengan ekspektasi masyarakat yang biasa terjadi. Salah satu bagian menarik adalah ketika dengan santainya Shibata membandingkan dirinya yang hamil tanpa suami dengan Bunda Maria.

Di Indonesia, istilah "bapak rumah tangga" sudah mulai terdengar. Pekerjaan-pekerjaan domestik di rumah sudah biasa ditangani oleh para suami, selain oleh para istri. Di kantor, semakin banyak pekerja perempuan yang bahkan menjadi pemimpin. Konsep dan nilai Jepang yang diceritakan di buku ini mungkin tidak menjadi relate dengan para generasi Zulu di Indonesia yang sudah terbiasa mandiri dan tidak mempermasalahkan hak lelaki dan perempuan; baik di rumah atau di kantor.


Kekosongan yang Mengerikan

Catatan perjalanan Shibata ini ditutup dengan kisah satu tahun setelah ia melahirkan. Saya yakin, rasa penasaran pembaca akan kebenaran kehamilannya akan tersesat di dua bab terakhir. Jadi sebenarnya, Shibata hamil atau tidak?

Yang membuat saya tercekat selama membaca buku ini adalah bagaimana kesendirian Shibata di hari-harinya terasa begitu pekat. Sangat terasa bagaimana Shibata berusaha menghabiskan waktunya dengan cara yang lebih menarik: menikmati kehamilan. Lalu apa yang terjadi ketika kehamilan itu sudah selesai? Sensasi dan keistimewaan itu bisa menjadi pendorong Shibata untuk memutuskan hamil lagi.

Mengerikan, ketika kenyataan yang tidak ada menjadi satu kebenaran. Sebuah pikiran yang kosong akan dipenuhi dengan hal-hal yang lambat laun menjadi nyata, bahkan dirimu sendiri akan percaya.

"Kali ini, akhirnya lelap menembus dinding kamarku dan menyambutku. Aku pulang ke ruang di antara kenyataan dan mimpi." ~Shibata, dalam "Kehamilan Minggu ke-38", halaman 172.

Jangan biarkan pikiranmu menjadi kosong. Jangan biarkan hidupmu menjadi kosong. 

Lalu, bagaimana akhir Shibata? Baca sendiri buku yang telah memenangkan penghargaan Ozamu Dazai 2020 yang memberikan predikat penulis dengan karya debut terbaik kepada Emi Yagi.

Satu hal menarik yang saya temukan di akhir buku ini, Bentang Pustaka memberikan halaman pernyataan bahwa mereka mendukung seniman muda berbakat dengan menggunakan karya mereka dalam sampul buku. Sebuah penghargaan yang luar biasa untuk orang-orang kreatif muda saat ini. Salut! [WE]


Judul Buku    : Diary of Void (Judul asli: Kushin Techo,  ditulis pada 2020)
Penulis          : Emi Yagi 
Penerjemah   : Astri Pratiwi Wulandari
Ilustrasi dan sampul : Robby Andriyan
Penerbit         : Bentang Pustaka
Cetakan Pertama, Februari 2024
Soft Cover, book paper, 179 halaman.


#windyeffendy #resensibuku #diaryofvoid #emiyagi #kehamilan #perempuanberdaya

No comments