RAMU JAMU, SEBUAH PELUKAN HANGAT

Ulasan buku Ramu Jamu oleh Windy Effendy


Banyak buku yang bicara tentang jamu dan rempah nusantara. Namun, yang satu ini berbeda. Ada cerpen dan esai dalam satu buku dengan satu tema, saling melengkapi.


Berawal dari acara komunitas Perempuan Penulis Padma (Perlima) yang bertajuk “Kembara Sastra dalam Dunia Rempah Nusantara” pada November 2023, lahirlah tulisan-tulisan yang bernas dari para peserta yang hadir. Bahkan, beberapa penulis yang tidak mengikuti acara tersebut turut menyumbangkan tulisannya dengan antusias.


Berkolaborasi dengan komunitas Nulis Aja Dulu—dari pelaksanaan acara Kembara Sastra hingga peluncuran buku, 24 penulis terkumpul dan bersenang-senang menulis tentang jamu. Acara berlangsung di Surabaya di Ngopibareng Baradjawa Coffee, Gayungsari, didukung penuh oleh Jamu Iboe. 


Sebagian peserta acara Kembara Sastra dalam Dunia Rempah Nusantara berfoto bersama di Ngopibareng Baradjawa Coffee, Surabaya.


Mulai dari pemaparan soal jamu dan geliatnya hingga di masa kini oleh Perry Anglishartono, Product Group Jamu Iboe, di acara talkshow; kemudian dukungan produk pada lomba membuat minuman jamu ala kafe di sesi kedua hari itu; hingga pembuatan buku dan peluncurannya pada Februari 2025 lalu. Dalam buku Ramu Jamu, selain Perry, Stephen Walla selaku CEO Jamu Iboe ikut memberikan sambutan. 


Pengantar yang hangat dalam Ramu Jamu diberikan oleh Kurnia Effendi, sastrawan sekaligus bertindak sebagai pengampu di Nulis Aja Dulu (NAD). Mas Kef, begitu sebutan akrabnya, dalam “Jamuan Jamu” menyatakan bahwa sudah semestinya khazanah literasi Indonesia dilengkapi dengan materi yang berasal dari ranah Nusantara—dalam hal ini tentu saja si Ramu Jamu yang penuh dengan deskripsi dan cerita tentang jamu dan rempah Nusantara. 


Selain Mas Kef, ada Heti Palestina Yunani, jurnalis yang sekaligus pengawas Perlima, memberikan pengantar yang “pahit”. Heti menekankan betapa jamu itu pahit, tetapi harus ditelan; bagaikan obat yang menawarkan kesembuhan bagi sakitnya hati dan jiwa. Jamu adalah jalan sembuh—yang ditempuh dengan menelan kepahitan.


"Menelan kepahitan jamu yang menjadi jalan kesembuhan sakit, maka menelan kepahitan hidup adalah salah satu jalan yang mengantar bahagia." ~Heti Palestina Yunani, Ramu Jamu hal. 07


Dari Andaliman sampai Jamu Burung Raja


Selain memanjakan pembaca dengan cerita pendek bertemakan rempah dan jamu, buku ini menyajikan paparan esai tentang warisan Nusantara dengan menarik. Di bagian pertama: “Lebih Dekat dengan Rempah Nusantara”, paparan tentang jamu serta rempah Nusantara dituliskan oleh sepuluh penulis dalam berbagai sudut pandang. 


Didi Cahya menceritakan bahwa dirinya akan memilih njamu  ketika badannya tidak nyaman dalam “Jamu Ora Suwe”. Ecka Pramita menyoroti tentang jamu kekinian yang terus mengikuti perkembangan zaman. Ecka membahas tuntas tentang bentuk penyajian jamu yang beragam di kafe-kafe—yang menarik minat anak muda. 


Sementara itu, Geva mengisahkan masa kecilnya yang tidak lepas dari urusan minum jamu. Hal itu membuatnya tetap menyukai jamu hingga kini. Ketua NAD, Irma Susanti Irsyadi, menuliskan tentang jamu dan kenangan masa kecilnya. Sedikit sejarah jalur rempah pun dituliskan, membuka mata bahwa sedari dulu rempah Nusantara sudah sangat berharga.


Jani P. Jasfin memilih membahas jamu selain yang ada di Jawa. Dari tangkurak hingga jamu burung raja disajikan oleh Jani dengan lugas. Sementara Mikawati memilih membahas tentang sambiloto, yang pahitnya tak tertahankan. Jangan salah, khasiatnya juga sangat menakjubkan. Puput Sekar pun mengangkat tentang Jakupan, yaitu minuman yang bahannya jahe, kunir, dan pandan. Sederhana dan menyehatkan. 


Foto oleh Achakawa (Instagram @gia_achakawa)

Ada pula Shalihah S. Prabarani, yang menegaskan bahwa jamu adalah warisan yang berharga. Sejarah tentang budaya jamu pun dikupas tuntas olehnya. WS Arianti yang pernah menjelajah dataran Sumatera Utara pun menuliskan keajaiban andaliman yang nikmat. Tulisan terakhir di bagian pertama ini adalah kisah hangat tentang acara lomba racik jamu di acara Kembara Sastra dalam Dunia Rempah Nusantara; yang ditulis oleh Yoni Astuti.


Berimajinasi dalam Dunia Jamu dan Rempah


Bagian kedua, yang bertajuk “Kisah-Kisah Rempah dan Jamu Nusantara”, berisi lima belas cerpen yang berputar di urusan jamu atau rempah. Serunya, ketika tuntas membaca tulisan nonfiksi tentang rempah dan jamu di bagian pertama, pembaca bisa menikmati kisah imajinatif yang beraneka.


Ackahawa, dengan cerpennya yang berjudul “Jamu Ibu”, mengisahkan tentang seorang gadis yang membuat bisnis dengan produk seputar lulur dengan resep warisan ibunya. Ari Pandan Wangi menuliskan perjuangan seorang ibu yang berjualan jamu demi keluarga, juga pendidikan anaknya. Ada pula Ayu Trisna, berkisah tentang boreh Bali yang menjadi pengikat kuat antara tokoh utama dan ibunya. 


Satu-satunya penulis lelaki dalam buku ini—selain Kurnia Effendi—adalah Baron Yudo Negoro. Dalam “Kumpulan Lelaki Lemah Syahwat”, pembaca dibuat tergelak dengan kisah Khodir dan Haruman dalam urusan kelelakian. Ada Esti Kurnia yang mengisahkan seorang ibu yang tidak ingin usaha jamu berakhir pada dirinya. Harapan ibu sangat besar agar anak-anaknya mau menerukan usaha itu. 

Keluh kesah Ibu seperti sebongkah batu yang menimpa dadaku. Sesak sekali rasanya. ~Ibu dan Harapan-Harapan tentang Jamu, Esti Kurnia, Ramu Jamu hal. 117.

Sementara itu, Fifin Maidarina membawa kisah unik tentang puding berbahan dasar jamu. Persoalan bisnis melatarbelakangi kisahnya. Ikasari mengangkat soal “Tombo Pahit” alias jamu pahitan yang biasa diberikan setelah selesai minum jamu yang sangat pahit. Intan Rahma, mengisahkan perjuangan perempuan yang dagangan jamunya tak kunjung laku dalam “Jamu Gendong Mbak Yuni.”


Kisah tentang gadis Wonogiri yang hijrah ke kota besar dan berjualan jamu gendong pun dikisahkan oleh Maya Dewi. Jatuh cinta karena persoalan icip-icip jamu dikisahkan oleh Nhaz Montana. Jodoh memang tak ke mana. Ketua Perlima, RWilis, menuliskan persoalan bisnis jamu yang dibangun oleh perempuan kuat dalam “Madu dan Racun”.


Dalam “Jamu Tolak Genit”, Sartini menceritakan bagaimana stigma penjual jamu yang dianggap gampangan bisa dipatahkan. Titie Surya menuturkan kisah peraji yang menurunkan resep-resep jamu kepada cucunya. 


Saya pun ikut menulis “Lemper Lali Jiwo”, kisah seorang chef muda yang berjuang ikut kompetisi masak bertema Rempah Nusantara. Cerpen terakhir yang sekaligus menutup buku ini berjudul “Rempah Simbah”. Ditulis oleh WS Arianti, satu-satunya penulis dengan 2 tulisan dalam buku ini. Tokoh utamanya dikisahkan berjumpa dengan cinta pertama gara-gara mencari rempah untuk simbah yang sakit.


 

Cinta dalam Cerita yang Hangat


Membaca seluruh tulisan dalam buku ini, membuat dada terasa hangat. Ada aroma rempah yang berputar di sekitar. Secangkir jahe panas terasa sangat tepat menemani saat membaca isi buku hingga tuntas. 


Ramu Jamu seakan menjawab kebutuhan dua dunia yang berbeda: fiksi dan nonfiksi. Setelah belajar tentang aneka rempah, khasiatnya, sejarah jamu, dan penyajian atau tren jamu yang ada di masa kini, lanjut dengan membaca cerita pendek yang juga tidak jauh dari jamu dan rempah. Setiap penulis memiliki ciri khas masing-masing yang unik. Topik yang diangkat juga berbeda-beda. Tema dalam deretan cerita pendeknya juga beragam. 


Peluncuran buku RAMU JAMU di Griya Herba, Gubeng, Surabaya, bersama Jamu Iboe


Yang jelas, semua tulisan membawa cinta yang disajikan dalam secangkir jamu dan rempah Indonesia yang hangat dan nikmat. Setiap kali berganti kisah, kita akan jatuh cinta lagi pada dunia rempah Nusantara. Begitu kaya, begitu rasa.


Judul Buku: Ramu Jamu

Penulis: Achakawa, Ari Pandan Wangi, Ayu Trisna, dkk

Penyunting Naskah: Windy Effendy

Desain Sampul dan Penata Letak: Farrah Alifia Putri

Pemeriksa Aksara: Fifin Maidarina

Penerbit: Padmedia Publisher

Soft cover, paperbook, 14x20 cm

Cetakan pertama, Desember 2024



#windyeffendy #ramujamu #pelukanhangat #perlima #nulisajadulu #perempuanpenulispadma #perempuanmenulis



No comments