Menjelajah Surabaya Melalui Cerita Orang Dalam

Ketika aku menerima buku ini, ada pesan untuk segera memberikan ulasan. Melihat sampulnya, aku tergelitik. Satu lagi buku tentang Surabaya. Aku bertanya-tanya, apakah buku ini bisa bisa menampilkan warna Surabaya yang seutuhnya?



Di sampul depan tertulis bahwa buku ini, Cerita Orang Dalam: Surabaya, adalah kumpulan—atau disebut sebagai bunga rampai—dari memoar, narasi, prosa, puisi, dan senandika. Aku agak tertegun membacanya. Dari kumpulan tulisan yang berbeda jenis ini, rasanya ada yang kurang pas. Namun, aku meniatkan diri untuk membacanya hingga tuntas.


Tentang Rindu dan Kenangan pada Surabaya

Kedua puluh penulis yang tergabung dalam buku ini berkumpul dalam sebuah komunitas yang disebut SUBE.CE, alias Surabaya Bercerita. Setelah dibukukan dalam satu tema yaitu Surabaya, muncullah berbagai tulisan menarik yang berkisah tentang Kota Pahlawan dari memori setiap penulis. Berbeda-beda, tetapi tetap dalam satu nyawa. 

Sekitar 12 puisi menghiasi buku ini, sisanya berupa tulisan bebas seputar Surabaya. Ada yang mengangkat persoalan kuliner seperti es krim Zangrandi yang melegenda, bakso poya, petis yang hitam, dan berbagai jajanan lain. Sebagian lagi menyinggung soal tempat unik atau bersejarah di Surabaya seperti Taman Remaja Surabaya, Kali Mas, Kenpark, Taman Bungkul, Taman Surya, Pasar Atom, Rumah Bahasa, hingga Kodam dan Mangrove Wonorejo; dan sebagainya.

Buku ini juga dipenuhi oleh kisah menarik yang dialami penulisnya selama tinggal di Surabaya. Pengalaman menjelajah jalanan Surabaya atau keseruan menikmati jajanan dan kuliner khas Surabaya. Ada satu tulisan menarik yang menggunakan bahasa Suroboyoan yang unik. Judulnya "Torehan Suroboyo" yang ditulis oleh Nissa Ahmad. Membaca tulisan satu ini, aku senyum-senyum sendiri karena jiwa Arek Suroboyo sangat terasa.


Satu Kotak yang Beragam

Satu hal yang paling menggangguku adalah perihal jenis tulisan yang dituliskan di sampul buku.  Pengelompokan tulisannya serasa tidak setara—bagiku. Tertulis di sampul buku bahwa buku ini merupakan sebuah bunga rampai dari memoar, narasi, prosa, puisi, dan senandika.

Mengutip laman di situs Narabahasa, ada berbagai jenis wacana. Salah satunya adalah wacana naratif, yang dijelaskan sebagai wacana yang memiliki alur, peristiwa, dan tokoh. Disebutkan juga bahwa bentuknya bisa berupa novel sebagai wacana yang bersifat fiksi dan berita sebagai wacana yang bersifat nonfiksi. Sementara, di Wikipedia, makna "narasi" atau kisahan adalah suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu.

Sementara puisi biasa disejajarkan dengan prosa dan drama sebagai karya sastra fiksi. Prosa diartikan sebagai karya sastra yang berbentuk cerita dan disampaikan mengunakan narasi. Ada prosa fiksi seperti dongeng, cerita pendek, dan novel. Ada juga prosa nonfiksi seperti biografi atau autobiografi yang oleh Ivan Lanin disebut sebagai laras bahasa kreatif; dan esai yang lebih kepada paparan tulisan jurnalistik—menurut Ivan Lanin juga.

Memoar adalah tulisan yang dibuat atas pengalaman pribadi, biasanya merupakan satu bagian penting dari kehidupan seseorang. Dengan kehidupan yang lebih runut dan lengkap maka tulisan semacam ini biasa disebut sebagai biografi.

Sedangkan senandika atau solilokui adalah wacana seorang tokoh dalam karya susastra dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut, atau untuk menyajikan informasi yang diperlukan pembaca atau pendengar (Wikipedia).

Mengapa aku repot-repot mencari semua pengertian istilah ini? Sebab aku merasa tulisan dalam buku ini tidak bisa diberi simpulan sebagai satu kumpulan dari sederet kata-kata di sampul tadi. Tulisan dalam buku ini murni hanyalah prosa nonfiksi dan puisi, dengan penulisan prosanya berupa esai singkat yang kurang bisa disebut sebagai memoar ataupun senandika. Tak perlu rasanya menuliskan bunga rampai dengan penjelasan sedemikian rupa—justru karena meleset dan tidak setara. Segala sesuatu yang tidak setara, tidak tepat untuk diperbandingkan, atau disandingkan dengan atas nama jenis—menurutku demikian.

Agak disayangkan karena sebenarnya dengan sedikit pengaturan yang ketat akan didapatkan satu tulisan yang lebih seragam. Puisi dan prosa, atau mungkin puisi dan esai, bolehlah. Tanpa perlu kategori lain semacam memoar atau senandika karena menjadi tidak jelas ke mana buku ini berjalan.


Detail Kisah dan Teknis yang Menggelitik

Tulisan pertama yang berjudul "Merawat Kenangan di Timur Surabaya" karya Ainun Nur Rizka Utami ternyata berkisah tentang pengalaman bird watching-nya, saat sering mengunjungi Ekowisata Mangrove Wonorejo—yang dituliskan di buku ini: Tambak Mangrove Wonorejo. Nah, apakah spesifik yang dikunjungi tambak atau benar yang dimaksud adalah ekowisatanya, setidaknya saat berada di meja editor harus diperiksa. Hal-hal yang berkaitan dengan nama yang juga menjadi merek haruslah ditulis dengan benar untuk paparan yang berkaitan. 

Dalam beberapa tulisan, aku merasa penulisnya sangat kurang melakukan riset. Atau sudah tahu dan paham, tetapi tidak dituangkan dengan detail dalam tulisan. Pada tulisan "Surabaya, Gemerlap Kota dengan Segala Kenangannya" karya Fifit Norina, terasa hanya menuliskan hal-hal umum yang laiknya ditemukan di kota lain dengan tempat serupa. Misalnya Kodam Brawijaya, Tanjung Perak, dan Jembatan Suramadu dibahas lagi dengan sedikit lebih detail, tentang apa yang membuat tempat-tempat itu berbeda dengan yang serupa di kota lain, isi tulisan akan lebih kuat. Begitu pula puisinya yang berjudul "Surabaya", terasa tipis tanpa hal spesifik tentang Surabaya.

Begitu pula puisi dan prosa "Taman Remaja Surabaya", "Kedai Zangrandi", "Kolam Pemancingan Kenpark", "Pasar Atom", dan "Kali Mas" karya Stephanie Handojono. Judul yang sangat kuat tentang landmark-landmark yang ada di Surabaya tidak dilengkapi dengan isi yang lengkap. Setidaknya baiknya ada gambaran yang membuat pembaca tahu bahwa semua tempat tersebut sangat spesial dan hanya ada di Surabaya. Apa yang paling spesifik tentang Taman Remaja Surabaya, misalnya? Aneka wahananya, tempat pementasan kesenian, pusat kebudayaan, tempat jajanan terlengkap di masanya, atau mungkin yang lain. 

Membahas Zangrandi, bisa berlembar-lembar.  Asal namanya, arsitekturnya, ciri khas tempatnya, belum lagi menu es krimnya. Dan justru yang kutangkap paling tebal adalah soal kacangnya. Memang benar, si kacang itu cukup legendaris. Namun, dalam satu puisi, banyak hal unik lain yang bisa diangkat tentang Zangrandi. Penulisan ikon-ikon Surabaya ini mungkin lebih tepat—atau akan lebih terasa—dalam bentuk esai. Atau bila memang ingin menuangkannya dalam bentuk puisi, harus dengan tebal, kuat, dan terasa pesan yang disampaikan. 

Masih banyak tulisan lain yang rasanya mengambang atau hanya membahas kulitnya saja. Misalnya pada puisi "Binar Biru Kodam Surabaya" karya Camilia Anjelina. Aku tak merasa ada yang spesial dengan si "Kodam" yang disebutkan dalam puisi. Seandainya yang diceritakan adalah Kodam di kota lain, tidak akan ada bedanya. 

Tidak semuanya tersesat, ada beberapa tulisan yang terasa fokus dan tajam pada satu lokasi saja atau satu topik. Misalnya "Cerita di Balik Gedung Metropolis" karya Hamida Soetadji, cukup menggambarkan kisah lampau Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya dan GoSkate. Mungkin judulnya yang sedikit perlu dipertajam. Tulisan Ugik Madyo yang berjudul "Rindu Senja di Taman Bungkul" cukup fokus pada satu taman di tengah Surabaya itu. Ada cerita dan kenangan yang dibalut dengan situasi di Taman Bungkul yang tidak bisa ditemui di tempat lain. Tulisan menarik lainnya adalah "Surabaya dan Sisi Kisah Renyahku" karya Zein Abidin, yang cukup menarik untuk dibaca sampai tuntas: tentang Bakpao Chikyen, Jalan Pandegiling, dan beberapa tokoh ikonik Surabaya seperti Sarip Tambak Oso, Sakera, dan Cak Kartolo.

Secara isi, masih banyak yang harus dibenahi dari buku ini. Melatih diri dalam menulis yang tajam dan berisi sepertinya harus dilatih oleh para penulis. Pisau editor buku ini seharusnya lebih tajam dan cermat dalam memperbaiki isi tulisan. 

Bicara soal editorial, aku cukup sedih melihat naskah yang tampil di buku ini. Begitu banyak kesalahan EYD yang dilakukan. Misalnya mengapa kata "aku" harus menggunakan huruf kapital, tidak cuma satu dua, melainkan nyaris di seluruh buku. Kapitalisasi menjadi bagian yang cukup krusial di buku ini. Banyak yang harusnya dikapitalkan tidak dilakukan, dan yang tidak perlu kapital justru mendapatkan kehormatan. 

Banyaknya typo, penataan spasi dan layout yang tidak rapi, membuatku menyimpulkan buku ini dibuat dengan terburu-buru. Ketika sebuah buku sudah dicetak, amat disayangkan ketika ada banyak hal-hal yang mengganggu kenikmatan membaca. Ilustrasi di setiap halaman yang kurasa terlalu besar pun terasa tidak nyaman dilihat. Menata sebuah buku, mendesain sebuah tampilan yang enak dibaca, membutuhkan kekuatan untuk menahan diri untuk tidak berlebihan memberikan hiasan ini itu yang tidak perlu. Fokus pada tulisan, isi, dan kualitas. Sesederhana itu. 


Jempol untuk Para Penulis

Tetap saja, aku mengacungkan jempol untuk para penulis. Tanpa kekuatan untuk menyelesaikan tulisan hingga tuntas, memberanikan diri untuk mengirimkannya kepada panitia, dan menunjukkan buku karya dengan bangga adalah hal yang tak boleh dilupakan.

Buku Cerita Orang Dalam: Surabaya menambah deretan buku yang telah mengusung tema yang sama. Salah satunya adalah buku Surabaya Whatever Love yang ditulis oleh 20 penulis dengan isi beragam tentang Surabaya. Buku yang diklaim sebagai “Sebuah Persembahan bagi Ulang Tahun Surabaya, dari Para penulis Jawa Timur”.

Satu lagi buku tentang Surabaya yang cukup menarik adalah Kopi Aren di Benteng Kedung Cowek. Ulasannya bisa disimak di sini. Buku ini mengangkat tema Surabaya dengan cerita pendek yang keseluruhannya adalah fiksi dengan didasari situasi dan kondisi nyata di Surabaya atau yang berhubungan dengan masa yang dibahas dalam cerita. 

Bagaimanapun, menulis adalah sebuah ketrampilan yang membutuhkan latihan. Kefasihan menulis tidak tiba-tiba turun dari langit. Menyebut diri sebagai penulis mungkin membutuhkan satu perenungan panjang, seperti yang kulakukan hingga kini. Sudah pantaskah diriku disebut penulis? Sudah baguskah karyaku sehingga bisa diterima banyak orang dengan nikmat? Aku masih terus belajar untuk memantaskan diri untuk bisa disebut sebagai penulis. Aku berharap para penulis di buku ini juga memiliki semangat yang sama. Karya berikutnya akan menjadi lebih baik, lebih cantik, lebih menarik untuk dibaca. Selamat berkarya!


Judul buku: Cerita Orang Dalam Surabaya
Penulis: Komunitas SUBE.CE
Editor: Ugik Madyo, Lailatul Fitriyah, Tya Roosinda
Tata Letak: Stephanie Handojono
Penerbit Collabowriters
Cetakan Pertama, Mei 2024



#windyeffendy #resensibuku #ceritaorangdalam #perempuanmenulis #antologibuku #surabaya #antologisurabaya #editor

No comments